KABARSULA.COM – Pemilik Stasiun Bahan Bakar Umum (SPBU) kompak desa Pohea, Kecamatan Sanana Utara, Kabupaten Kepulauan Sula, Bernadth Ham angkat bicara terkait masalah penggunaan takaran atau canting dalam pengukuran BBM. Ia mengakui bahwa penggunaan alat ukur manual dapat menyebabkan ketidakakuratan. Namun, menurutnya alat ukur tersebut telah ditera oleh pihak metrologi.
“Kalau soal ukuran minyak secara manual itu berkurang, memang bisa saja terjadi. Tapi alat ukur itu sudah ditera oleh metrologi. Biasanya mereka (Nelayan, red) di desa Bajo yang membeli menggunakan jerigen itu mereka mengukur sendiri, sehingga mungkin ada perbedaan dalam pengukuran,” jelas Bernadth, saat dikonfirmasi kabarsula.com, Senin (05/08/2024) malam.
“Saya pernah menyuruh anak mantu untuk melihat alat ukur itu dari Diskoperindag agar diteruskan ke metrologi supaya kita pakai itu. Tapi selama ini tidak pernah ada keluhan terkait masalah tersebut,” tambahnya.
Disentil soal kuota BBM subsidi jenis Pertalite, Bernadth menyatakan SPBU-nya tidak menerima pasokan Pertalite selama tiga bulan berturut-turut, yaitu pada April, Mei, dan Juni. Selama periode tersebut, SPBU hanya menyediakan Pertamax. “Nelayan sekarang lebih cocok dengan Pertamax, karena meskipun lebih mahal, penggunaannya lebih irit,” katanya.
Selain itu, Ia juga menambahkan nelayan di desa Bajo kadang-kadang membeli 100 liter BBM dengan membagi 50 liter Pertalite dan 50 liter Pertamax. Jumlah nelayan yang tercatat di desa Bajo mencapai sekitar 200 orang. Dengan kuota terbatas hanya 50 ton per bulan untuk SPBU-nya yang berstatus SPBU kompak, pihaknya tidak dapat memberikan 100 liter per orang per hari karena dirinya menjaga stok BBM agar tersedia hingga akhir bulan, sesuai dengan arahan dari Pertamina.
“Kita harus atur, kalau hanya dapat 30 ton, maka dalam satu hari itu harus dijual 1 ton saja. Ini agar di akhir bulan, ketika orang butuh, stok masih ada. Kita tidak bisa jual semuanya sekaligus karena nanti kita ditegur. Kita harus jaga stok agar tetap tersedia,” pungkasnya. (Red)